Tuesday, November 4, 2014

Nadzir Dan Tugas - tugasnya (perwakafan)



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Secara konseptual, beribadah menurut syar’i termasuk di dalamnya melaksanakan hukum-hukum yang di ajarkan oleh Islam merupakan kewajiban yang bersifat individual dan kelompok.
Sejak masuknya Islam di nusantara ini, penerapan hukum Islam telah dilakukan sedikit demi sedikit bahkan secara bertahap dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Dalam bentuk yurisprudensi, nilai-nilai Islam telah mempengaruhi hukum-hukum di Indonesia. Seperti, penerapan hukum Islam yang menjadi perhatian Pemerintah dan DPR melalui fungsi legislasinya. Kita lihat saja UU No. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan, UU No. 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Berdasarkan data yang ada, pada umumnya wakaf di Indonesia diserahkan untuk masjid, musholla, sekolah, rumah yatim piatu, makam dan sedikit sekali tanah wakaf yang di kelola secara produktif dalam bentuk usahha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin[1].
Oleh sebab itu, perlunya peranan penting seorang nazhir dalam mengurus harta wakaf agar upaya dalam mengelola perwakafan dapat berjalan maksimal.

B.     Rumusan Masalah
Pembahasan dalam makalah ini mengenai Nazhir dan tugas-tugasnya diidentifikasi melalui masalah sebagai berikut:
1.      Apakah definisi nazhir dan kualifikasi menjadi seorang nazhir?
2.      Apa sajakah syarat-syarat menjadi nazhir dalam perundang-undangan?
3.      Apa sajakah hak dan kewajiban nazhir, serta bagaimanakah pengangkatan dan pemberhentian seorang nazhir?


C.     Tujuan Penulisan
Tujuan utama penulisan makalah ini, untuk mengetahui bagaimanakah peran seorang nazhir dalam perwakafan serta agar makalah ini menjadi tambahan wawasan bagi pembaca khususnya.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Dan Kualifikasi Nazhir
Nazhir berasal dari kata kerja bahasa Arab nazhara, yang mempunyai arti menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun nazhir adalah isim fa’il dari kata nazhara yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas. Nadzir wakaf adalah orang atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut.
Sedangkan menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4) tentang wakaf menjelaskan bahwa Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.  Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus benda wakaf.
Dari pengertian nazhir yang telah dikemukakan di atas, nampak bahwa dalam perwakafan, nazhir memegang peranan yang sangat penting. Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus-menerus, maka harta itu harus dijaga, dipelihara, jika mungkin dikembangkan.[2]
Posisi Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf. Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam perwkafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf sebagai mauquf’alaih sangat bergantung pada Nazhir wakaf. Para ulama sepakat bahwa kekuasaan Nazhir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki wakif.
Nazhir sebagai pihak yang berkewajiban mengawasi dan memelihara wakaf tidak boleh menjual, menggadaikan atau menyewakan harta wakaf  kecuali di ijinkan oleh pengadilan. Ketentuan ini sesuai dengan masalah kewarisan dalam kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang untuk mengontrol kegiatan Nazhir.[3]
Para Imam Mazhab sepakat pentingnya Nazhir memenuhi syarat adil dan mampu. Menurut jumhur ulama, maksud “adil” adalah mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang menurut Syari’at Islam. Sedangkan maksud kata “mampu” berarti kekuatan dan kemampuan seseorang mengelola apa yang di jaganya.[4]
Kualifikasi profesionalisme Nazhir secara umum dipersyaratkan menurut fikih sebagai berikut, yaitu : beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum), baligh, dan ‘aqil (berakal sehat), memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (profesional) dan memiliki sifat amanah, jujur dan adil.[5]


B.     Syarat-Syarat Menjadi Nazhir Dalam Perundang-Undangan
Selain syarat dan rukun harus dipenuhi dalam perwakafan, kehadiran nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam mengelola harta wakaf sangatlah penting. Para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf, baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan.
Para ahli fiqh, menetapkan, syarat- syarat yang luwes (pantas dan tidak kaku), seperti hendaklah orang yang pantas dan layak memikul tugasnya. Mengingat salah satu tujuan wakaf ialah menjadikannya sebagai sumber dana  yang produktif, tentu memerlukan Nazhir yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara professional dan bertanggung jawab. Apabila Nazhir tidak mampu melaksanakan tugasnya, maka Qadhi (Pemerintah) wajib menggantinya dengan tetap menjelaskan alasan-alasannya.[6]
Dalam Bab I Pasal I poin 4 Undang – undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Di dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Bagian Kelima pasal 9, dijelaskan bahwa nazhir meliputi:
1.      Perseorangan
2.      Organisasi
3.      Badan hukum.
Di dalam pasal 10 ayat 1 disebutkan, perseorangan yang dimaksud dalam pasal 9,  hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
1.      Warga negara Indonesia
2.      Beragama Islam
3.      Dewasa
4.      Amanah
5.      Mampu secara jasmani dan rohani
6.      Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. 
Di dalam ayat 2 disebutkan, organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
1.      Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
2.      Organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.
Ayat 3 menyebutkan, badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
1.      Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
2.      Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3.      Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. 
Dalam pasal 11 disebutkan, nazhir mempunyai tugas:
1.      Melakukan pengadmistrasian harta benda wakaf;
2.      Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya;
3.      Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
4.      Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 12 menyebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).
Pasal 13 menyebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Dalam pasal 14 ayat 1 disebutkan, dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Dalam ayat 2 disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13 dan pasal 14 diatur dengan Peraturan Pemerintah.[7]

Ada persyaratan umum lain bagi nazhir, yaitu:
1.      Nazhir adalah pemimpin umum dalam wakaf. Oleh karena itu nazhir harus berakhlak mulia, amanah, berpengalaman, menguasai ilmu administrasi dan keuangan yang dianggap perlu untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan jenis wakaf dan tujuannya.
2.      Nazhir bisa bekerja selama masa kerjanya dalam batasan undang-undang wakaf sesuai dengan keputusan organisasi sosial dan dewan pengurus. Nazhir mengerjakan tugas harian yang menurutnya baik dan menentukan petugas-petugasnya, serta punya komitmen untuk menjaga keutuhan harta wakaf, meningkatkan pendapatannya,  menyalurkan manfaatnya. Nazhir juga menjadi utusan atas nama wakaf terhadap pihak lain ataupun di depan mahkamah (pengadilan).
3.      Nazhir harus tunduk kepada pengawasan Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia, dan memberikan laporan keuangan dan administrasi setiap seperempat tahun minimal, tentang wakaf dan kegiatannya.
4.      Nazhir bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian atau hutang yang timbul dan bertentangan dengan undang-undang wakaf.[8]


C.     Hak dan Kewajiban Nazhir
Di dalam Peraturan Pemerintah dan juga Peraturan Menteri Agama disebutkan beberapa pasal dan ayat mengenai hak dan kewajiban nazhir, di antaranya[9]:  
Kewajiban nazhir :
1.      Mengurus dan mengawasi harta wakaf, yaitu:
a.       menyimpan lembar kedua salinan akta ikrar
b.      memelihara tanah wakaf
c.       memanfaatkan tanah wakaf
d.      memelihara dan berusaha meningkatkan hasil wakaf
e.       menyelenggarakan pembukuan wakaf, yaitu:
1)      buku tentang keadaan tanah wakaf
2)      buku tentang pengelolaan dan hasil
3)      buku tentang penggunaan hasil (pasal 7 ayat 1 PP, pasal 10 ayat 1 PMA).

2.      Memberikan laporan kepada KUA Kecamatan, yaitu:
a.       hasil pencatatan wakaf tanah milik oleh pejabat agrarian
b.      perubahan status tanah dan perubahan penggunaannya.
c.       pelaksanaan kewajiban nazhir pasal 20 ayat 1 PP setiap tahun sekali pada akhir bulan Desember.

3.      Melaporkan anggota nazhir yang berhenti dari jabatan
4.      Mengusulkan anggota pengganti kepada Kepala KUA Kecamatan tempat tanah wakaf berada, untuk disahkan keanggotaannya[10].

Semua ini dilakukan untuk memudahan koordinasi dan pengawasan, dan oleh sebab itu nazhir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang wajar atas usaha dan jerih payahnya (pasal 8 PP) untuk menghindari penyalahgunaan tujuan wakaf.
Hak nazhir sesuai ketentuan pasal 11 PMA adalah[11]:
1.      Menerima hasil tanah wakaf dengan tidak melebihi dari 10% hasil bersih
2.      Menggunakan fasilitas dan hasil tanah wakaf sepanjang diperlukan.


D.    Pengangkatan dan Pemberhentian Nazhir
1.      Pengangkatan Nazhir
Selanjutnya dalam proses pengangkatan Nazhir hendaklah diketahui oleh seorang nazhir haruslah memiliki kepribadian yang baik. Hal ini tentu menjadi tolak ukur ke depannya dalam memantau proses dan eksistensi benda wakaf itu sendiri. Tidak bisa dipandang sebelah mata bahwa berbagai permasalahan di bidang wakaf disebabkan oleh karena nazhir yang ‘kurang’ bekerja secara profesional.
Keberadaan nazhir diperlukan dalam pengelolaan wakaf. Nazhir dan lembaga pengelolaan wakaf sebagai ujung tanduk pengelolaan dan pengembangan harta wakaf. Sebelum menjadi nazhir tentunya ada beberapa karakteristik khusus yang menjadi kualifikasi dalam penetapannya. Nazhir harus didaftar pada kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
Sebelum melaksanakan tugasnya, Nazhir harus mengucapkan sumpah dihadapan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 saksi dengan isi sumpah sebagai berikut[12] :
“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi nazhir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dengan dalih apa pun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberiaan”.
Sedangkan jumlah Nazhir diperbolehkan untuk satu unit perwakafan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
2.      Pemberhentian Nazhir dan Penggantiannya
Dalam prosesnya, Nazhir pula dapat diberhentikan. Nazhir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena :
a.       Meninggal dunia
b.      Atas permohonan sendiri
c.       Tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nazhir
d.      Melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.

Bilamana terdapat lowongan jabatan nazhir karena salah satu alasan diatas maka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat. Sedangkan seorang nazhir yang telah berhenti disebabkan karena meninggal dunia (tidak dengan sendirinya) maka digantikan oleh salah seorang ahli warisnnya. Menurut peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2006 pasal 14 ayat (1)-(2) ketentuan mengenai masa bakti nadzir ialah:
a.       Masa bakti nadzir perseorangan adalah lima tahun dan dapat di angkat kembali.
b.      Pengangkatan kembali nadzir dilakukan oleh BWI dengan syarat nadzir telah melaksanakan tugasnya  dengan baik sesuai ketentuan prinsip syari’ah dan peraturan perundang-undangan.[13]

E.     Nazhir Profesional
Kehadiran nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf sangatlah penting. Walaupun para mujtahid sepakat tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf, baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan (badan hukum). [14]
Pada dasarnya siapapun dapat menjadi nazhir sepanjang ia bisa melakukan tindakan hukum. Akan tetapi karena tugas nazhir menyangkut harta benda yang manfaatnya harus disampaikan kepada pihak yang berhak menerimanya, jabatan nazhir harus diberikan kepada orang yang memang mampu menjalankan tugas tersebut.  Untuk lebih jelasnya, persyaratan nazhir wakaf profesional itu dapat diungkapkan sebagai berikut:
1.      Syarat moral, meliputi:
a.       Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun perundang-undangan negara RI.
b.      Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf.
c.       Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha.
d.      Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan.
e.       Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual.

2.      Syarat manajemen, meliputi:
a.       Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.
b.      Visioner.
c.       Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan pemberdayaan.
d.      Profesional dalam bidang pengelolaan harta.
e.       Ada masa bakti nazhir.
f.       Memiliki program kerja yang jelas.

3.      Syarat bisnis, meliputi:
a.       Mempunyai keinginan.
b.      Mempunyai pengalaman dan atau siap untuk dimagangkan.
c.       Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrepreneur[15].

Sebagai nazhir harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas sehingga mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mengelola wakaf dengan maksimal dan optimal sesuai dengan harapan para wakif secara khusus dan kaum muslimin secara umum. Sehingga pengalaman-pengalaman pengelolaan harta wakaf yang tidak produktif seperti yang terjadi pada masa lalu tidak terulang lagi.
BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Tujuan terbentuknya nazhir profesional pada dasarnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Meningkatkan kelayakan produksi harta wakaf hingga mencapai target ideal untuk memberi manfaat sebesar mungkin bagi tujuan wakaf dengan cara meningkatkan hasilnya dengan berusaha memperoleh sebesar mungkin hasil produksi dan investasi wakaf.
2.      Melindungi pokok-pokok harta wakaf dengan mengadakan pemeliharaan dan penjagaan yang baik dalam menginvestasikan harta wakaf dan mengurangi resiko investasi.
3.      Melaksanakan tugas distribusi hasil wakaf dengan baik, berdasar pernyataan wakif dalam akte wakaf dan berdasar pendapat fikih dalam kondisi wakaf hilang aktenya dan tidak diketahui tujuannya.
4.      Berpegang teguh pada syarat-syarat wakif baik berkenaan dengan jenis investasi dan tujuannya maupun dengan tujuan wakaf, pengenalan obyek dan batasan tempatnya atau bentuk kepengurusan dan seluk-beluk cara nazhir bisa menduduki posisinya.
5.      Memberikan penjelasan kepada para dermawan dan mendorong mereka untuk melakukan wakaf baru dan secara umum memberi penyuluhan dan menyarankan pembentukan wakaf baru baik secara lisan maupun dengan memberi contoh keteladanan.[16]




DAFTAR PUSTAKA


Farid, Wadjdy dan Mursyid. 2007. Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan). Cet.1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Panduan Wakaf. 2010. Jakarta: Majelis Wakaf dan ZIS PP. Muhammadiyah.

Qahaf, Mundzir. 2008. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: Khalifa.

Tim Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI. 2007. Fiqih Wakaf. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama.

_______ 2007. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama.

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya, Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang. 2009. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Depag RI.

Wadjdy, Farid dan Mursyid. 2007. Wakaf dan Kesejahteraan Umat (filantropi Islam yang hampir terlupakan).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumber Online:




[1] Wadjdy, Farid dan Mursyid, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan), Cet.1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.1-3
[2] Lihat Panduan Wakaf,  (Jakarta: Majelis Wakaf dan ZIS PP. Muhammadiyah, 2010), h.25-26
[3]Tim Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI. Fiqih Wakaf. (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, 2007). h.69-70

[4]Tim Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI,2007).h.51

[5] Ibid., h.117
[6]Fiqih Wakaf, Op. Cit, h.61-62.
[7]Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya, Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Depag RI, 2009), h.7-9.
[8] Mundzir Qahaf,  Manajemen Wakaf Produktif.  (Jakarta: Khalifa, 2008),  h. 171-172.
[10] Wadjdy, Farid dan Mursyid, Op.Cit, h.169
[13] Wadjdy, Farid dan Mursyid, Op.Cit, h. 166-167

[14] Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Op.Cit, h.116
[15] Lihat Eri Sudewo dalam Wadjdy, Farid dan Mursyid, Op.Cit, h.160
[16] Mundzir, Qahaf, Op. Cit, h.321-322

1 comment: